Pembahasan mengenai perilaku konsumen cukup menarik, karena menyangkut bagaimana mereka memutuskan untuk membeli atau tidak, membeli merek A atau merek B. Ada yang menyatakan konsumen sangat rasional. Ketika konsumen menimbang-nimbang harga suatu produk dibandingkan manfaat yang diterima, lalu membandingkan dengan produk lain dari merek berbeda, membuktikan konsumen memang rasional.
 
Namun ada yang mengatakan sebaliknya, konsumen itu irasional. Praktisi pemasaran atau marketer pasti paham betul soal ini. Para marketer pandai betul memoles suatu merek, bahwa merek ini dikesankan sangat mewah atau prestisius. Mereka juga sering menggunakan Brand Ambassador (duta merek) dari kalangan pesohor untuk membangun persepsi, bahwa merek tersebut bergengsi karena digunakan para artis.
 
Pembahasan mengenai perilaku konsumen juga menarik perhatian pakar, salah satunya Daniel Kahneman. Kahneman memperkenalkan “teori prospek” mengenai psikologi transaksi. Teori ini sangat luas, tapi pada intinya didasarkan pada gagasan yang sangat mendasar. Menurut Kahneman, cara orang membuat keputusan, kenyataanya sering melanggar asumsi ekonomi baku tentang bagaimana mereka seharusnya membuat keputusan.
 
Kahneman mengatakan, penilaian dan keputusan didasarkan pada prinsip-prinsip psikologi tentang cara orang merasakan dan mengolah informasi. Sama seperti proses indrawi berpengaruh terhadap apakah baju yang kita lihat berwarna merah atau benda di cakrawala tampak sangat jauh, proses ini berpengaruh terhadap apakah suatu harga terkesan tinggi atau suatu transaksi terkesan bagus.  Atas upayanya menjelaskan tentang perilaku konsumen, Kahneman dianugerahi Nobel Ekonomi pada tahun 2002 silam.
 
Prinsip Teori Prospek
 
Salah satu prinsip utama teori prospek adalah orang tidak mengevaluasi sesuatu berdasarkan nilai mutlak. Mereka mengevaluasi sesuatu relatif terhadap suatu standar perbandingan harga atau “titik acuan”. Contoh sederhananya, harga Rp30 ribu untuk segelas kopi tidak sekadar tentang harga. Apakah itu dirasakan sebagai harga yang adil atau tidak tergantung pada harapan konsumen. Jika konsumen tinggal di Jakarta mungkin bisa mentoleransinya. Namun, jika konsumen membayar harga sebesar itu di pedalaman Kalimantan dirasakan sangat mahal.
 
Contoh lain, ketika Anda mengajak orang tua berusia 70 tahunan pergi ke bioskop, mungkin dia akan terheran-heran melihat harga karcis bioskop Rp50 ribu untuk satu orang. Referensi kakek Anda mengenai harga karcis bioskop ketika dia masih berusia 20 tahunan. Jadi bagi sang kakek harga Rp50 ribu sangat mahal dan tidak adil.
 
Prinsip lain dari teori prospek adalah apa yang disebut “berkurangnya kepekaan”. Contohnya Anda membeli  satu unit smartphone seharga Rp1,5 juta di salah satu toko. Kemudian ada yang membisiki di toko lain harganya Rp1,3 juta. Tapi untuk menuju toko yang menjual lebih murah Anda masih harus menempuh perjalanan sekitar 5 km dari lagi dari toko pertama.
 
Sebagian konsumen mungkin akan terpengaruh lalu beranjak ke toko kedua karena harganya lebih murah. Sebagian lain akan berkata tidak, dengan pertimbangan  untuk apa menghemat Rp200 ribu sementara masih harus menempuh perjalanan 5 km lagi. Bukankah harga bensin dan keletihan menempuh perjalanan juga mesti ikut diperhitungkan?